
Bandung – Perhelatan Musyawarah Wilayah XIV Nasyiatul Aisyiyah Jawa Barat yang berlangsung di Kota Bandung, Jum’at-Minggu (7-9/7/23) diwarnai aksi walk out (WO).
Ada 14 Pimpinan Daerah (PD) Nasyiatul Aisyiyah yang WO pada saat penetapan hasil rapat formatur yaitu PDNA Garut, PDNA Kab. Bandung, PDNA Kab. Sukabumi, PDNA Kota Sukabumi, PDNA Sumedang, PDNA Majalengka, PDNA Pangandaran, PDNA Banjar, PDNA Ciamis, PDNA Cirebon, PDNA Cimahi, PDNA Kab. Bekasi, PDNA Kota Bekasi.
Aksi WO terjadi hari minggu (9/7/23) sekitar jam 11 pagi, ketika pembacaan hasil rapat formatur yang diduga tidak mengindahkan etika dan budaya organisasi, karena sidang formatur tidak menawarkan kepada suara terbanyak untuk menjadi ketua. Suara tertinggi adalah aspirasi dari kebanyakan musyawirin yang biasanya ditawarkan untuk menjadi ketua terlebih dahulu di dalam rapat formatur. Apabila formatur dengan suara tertinggi tidak bersedia menjadi ketua, selanjutnya ditawarkan kepada Anggota formatur yang lain atau dimusyawarahkan.
Setelah dikonfirmasi kepada suara tertinggi, yaitu Ficky Zakiyatul Fikriyah ternyata menyatakan bersedia, namun seperti tidak dianggap oleh formatur yang lain. Hal tersebut memicu gejolak yang menyebabkan 14 daerah tersebut walkout.
Oleh karena itu 14 Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah menyatakan menolak hasil rapat formatur yang menetapkan Rini Marlina sebagai ketua PWNA Jawa Barat tanpa menawarkan kepada suara tertinggi yaitu Ficky Zakiyatul Fikriyah menjadi ketua yang merupakan amanat musyawirin.
Menurut Karwati, Ketua PDNA Sumedang “Keputusan yang ditetapkan oleh Panitia Pemilihan tidak fair karna tidak mempertimbangkan suara terbanyak yang merupakan amanat musyawirin. Pada Musywil XIV kali ini PWNA juga tidak netral.”
Siti Ikrimah Sekretaris PDNA Kota Sukabumi juga mengungkapkan “Saya mewakili PDNA kota sukabumi sangat menyayangkan sikap PWNA demisioner yang dari awal sudah mengarahkan dan menggiring peserta musyawirin muswil NA dengan paketan formatur, sebagai pimpinan tingkat daerah awalnya kami mengakomodir paketan hasil rekomendasi PWNA tapi secara obyektif kami juga ada beberapa pilihan yang memang secara track record kekaderan layak untuk memimpin PWNA Jabar, saya merasa dari awal ada beberapa formatur yang dipaksakan untuk maju padahal masih merangkap jabatan inti di ortom muhammadiyah lain, bagi kami tentu sangat di sayangkan tentu sebagai kader hanya bisa mengingatkan, ditambah penetapan ketua PWNA tidak di serahkan ke suara terbanyak hasil pilihan musyawirin padahal formatur dengan pilihan terbanyak sudah saya konfirmasi bersedia memimpin, ini yang harus di mengerti setiap kader budaya di keluarga besar persyarikatan agar mendahulukan suara terbanyak diberi kesempatan.” “Terlebih suara formatur no 4 dan no 1 ini sangat jauh hasil perolehan suaranya, dari tingkat keaktifan di NA nya pun lebih senior wajar musyawirin punya pilihan sendiri yang obyektif, juga mengakomodir rekomendasi PWNA yang saya kira terlalu intervensi berlebihan, teh Ficky ini saya lihat awal nya di coret dari paketan PWNA tapi karena kami melihat obyektif kami tetap pertahankan.” Imbuh Siti Ikrimah.